IDUL FITRI YANG SUNYI

IDUL FITRI YANG SUNYI

\"\" Oleh Zacky Antony

INILAH Idul Fitri yang sunyi. Tanpa sholat Id berjemaah di tanah lapang atau di masjid. Tanpa silaturahmi secara fisik. Tanpa open house pejabat. Tanpa baju baru. Tanpa bermegah-megahan.

Tetap ada kumandang takbir, tapi tak seperti tahun-tahun sebelumnya. Tetap ada yang menggelar sholat Id berjemaah, tapi tak seramai sebelumnya. Masih ada yang bertamu dan menerima tamu secara fisik, tapi jumlahnya terbatas. Bagi masyarakat yang ingin bertamu dengan pemimpinnya, mohon maaf kali ini mereka tidak membuka open house. Mulai dari Presiden, Wapres, Gubernur, bupati hingga walikota.

Inilah Idul Fitri tanpa gegap gempita. Kemeriahan tidak selalu mengiringi kemenangan. Ada kalanya kemenangan dirayakan lewat kesunyian. Virus Corona telah memberi pelajaran kepada umat manusia. Rayakanlah kemenangan dengan biasa-biasa saja. Jangan larut dalam euphoria sebagaimana biasa dirayakan lebaran-lebaran sebelumnya.

Kebiasaan kita, tiga hari atau sepekang jelang puasa Ramadhan berakhir, semua seperti ingin “dibeli”. Semua seolah ingin “dimiliki”. Lebaran kemudian menjadi “ajang balas dendam” setelah sebulan berpuasa. Semua yang enak-enak ingin dihidangkan. Semua yang berbau baru, ingin ditampilkan, atau mungkin juga ingin “dipamerkan.”

Mulai sekarang stop. Rayakan kemenangan dengan biasa-biasa saja. Rayakan kemenangan dengan kesederhanaan. Apalah artinya kemenangan, kalau kita tetap tinggi hati. Apalah artinya kemenangan, kalau diakhiri dengan sikap riya. Dan apalah arti kemenangan setelah 30 hari berpuasa Ramadhan, tapi pada akhirnya yang ditampilkan justru bermegah-megahan. Kita patut merenungi peringatan Alquran dalam Surat At Taqasur; Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke liang kubur.

Inilah Idul Fitri yang dibaluti keprihatinan akan virus corona yang tak kunjung reda. Bahkan jumlah orang terinfeksi terus meningkat. Hari-hari sebelum Idul Fitri, jumlah orang dengan kasus positif corna mencapai di atas 900 orang dalam 24 jam. Inilah hari-hari dengan jumlah kasus positif tertinggi sejak diumumkan corona pertama kali pada 2 Maret lalu.

Hingga hari lebaran tiba, jumlah orang terinfeksi corona di Indonesia sudah mencapai 22.271 orang. Dan merenggut 1.371 kematian. Di dunia, jumlah orang terinfeksi sudah menembus angka 5,3 juta jiwa. Dan jumlah kematian 340.000 orang.

Inilah Idul Fitri yang sarat pelajaran kehidupan. Tak ada lagi kue bertumpuk-tumpuk dalam lemari. Tidak ada lagi baju baru lebaran berlembar-lembar. Tak ada lagi konvoi mudik. Tak ada lagi salam-salaman di lapangan. Semua sunyi di rumah masing-masing. Sunyi adalah potret akhir kehidupan di dunia fana. Kesunyian itu tergambar jelas dalam liang kubur yang gelap. Ya, rumah terakhir manusia itu sunyi sepi dan gelap.

Pelajaran dari wabah ini bahkan jauh lebih dalam hingga menyentuh nilai-nilai spiritual. Bahwa kita sesungguhnya lemah. Yang kuat hanya Tuhan sang pencipta alam semesta beserta isinya. Kita sesungguhnya tidak berdaya apa-apa. AS yang dianggap sangat tinggi ilmu pengetahuan dan teknologinya tak luput sekarat. Jumlah kematian dan kasus positif di AS bahkan lebih parah dari Italia, Spanyol atau Negara-negara maju lainnya. Sampai-sampai Donal Trump terpaksa mencari kambing hitam.

Wabah virus ini juga mengajarkan makna tentang kesetaraan, persaudaraan dan kebebasan. Seperti kata lagu Rhoma Irama, “Kalau Sudah Tiada, Baru Terasa. Bahwa Kehadirannya, Sungguh Berharga.” Ya, lockdown atau apapunlah istilahnya, atau mau diperhalus dengan bahasa PSBB terserahlah, telah merenggut kebebasan. Bukan kebebasan satu atau dua orang, tapi kebebasan jutaan manusia.

Inilah Idul Fitri ada larangan mudik. Ribuan orang yang nekat mudik, kendaraannya dihalau putar balik oleh petugas. Sebagian banyak juga yang lolos pulang ke kampung halaman dengan berbagai daya upaya. Kerinduan pada kampung halaman, ternyata bisa membuat orang tidak menggubris risiko nyawa.

Inilah Idul Fitri ada larangan kunjung-mengunjungi. Kita biasa menyebut bersilaturahmi. Ada orang yang baru bisa memahami makna silaturahmi saat silaturahmi (fisik) dilarang. Salah satu sifat lalai pada manusia adalah tidak mengerjakan saat ada kesempatan. Namun justru baru mau melaksanakan saat kesempatan sudah hilang.

Dalam memberi pelajaran kehidupan, corona tidak pandang bulu. Mau jutawan atau bukan, mau pejabat atau rakyat biasa, mau jenderal atau kopral, mau menteri atau ahli, semua berpotensi terinfeksi.

Inilah Idul Fitri yang sunyi. Tapi dalam kesunyian itulah terletak hakekat makna fitri. Semoga kita berjumpa lagi Idul Fitri tahun depan. InsyaAllah.

_*Penulis adalah Wartawan Senior yang juga Ketua PWI Provinsi Bengkulu*_

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: